Kamis, 27 Oktober 2022

Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran Matematika Realistik

 


Pada kisaran tahun 1971, Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME), makna Indonesianya adalah pendidikan matematika realistik dan secara operasional disebut sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

PMR awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human activities), ide utamanya adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan atau tanpa bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan "realistik" yakni yang berkaitan dengan realitas atau situasi yang dapat dibayangkan siswa.

Soedjadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu. Yang dimaksud dengan realitas dalam hal ini adalah hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dapat dipahami lewat membayangkan. Sedangkan lingkungan yang dimaksudkan yakni lingkungan tempat anak atau peserta didik atau siswa berada, mungkin lingkungan sekolah, lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat yang dapat dipahami siswa.

Dalam PMR siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Proses ini disebut matematisasi horisontal. Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Tetapi setelah beberapa waktu, setelah siswa familiar dengan proses-proses pemecahan yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), mereka akan menggunakan bahasa yang lebih formal, dan diakhiri proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai mereka menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal. Gravemeijer  (1994:93) menggambarkan kedua proses matematisasi di atas sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 


            Gambar 2.1: Matematisasi horisontal dan vertical

(Gravemeijer 1994:93)


 

 

 

 

 

Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memanfatkan masalah kontekstual  yang mudah difahami siswa kemudian siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah yang diberikan secara mandiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimilikinya. Kegiatan ini mengandung arti bahwa siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan, menginterpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Dalam hal ini keaktifan siswa lebih diutamakan, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Siswa bebas mengeluarkan idenya, mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu siswa (secara terbatas) untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil keputusan tentang ide mana yang paling tepat, efisien dan mudah dipahami oleh mereka. Dalam kaitannya dengan matematika sebagai aktivitas manusia maka siswa telah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan masalah kontekstual. Setelah pembentukan  dan menemukan konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual sebagai aplikasi untuk memperkuat pemahaman konsep pada dunia nyata

 

                                                real word

 


mathematizing in application                              mathematizing and reflection

 

                                abstraction and formalization

 

Gambar 2.2: Conceptual Mathematizing

(De Lange 1987:72)

 

2.  Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Gravemeijer (1994:90) ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu: (a) guided reinvention and progressive mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

a.    Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and  progressive mathematizing)

Berdasarkan prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat konsep-konsep matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasarkan prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat difahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut, maka perlu dirumuskan masalah kontekstual yang dapat mengundang beragam prosedur penyelesaian yang mengindikasikan rute belajar melalui proses matematisasi progresif (Gravemeijer, 1994:90)

b.  Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)

Berdasarkan prinsip ini penentuan situasi yang mengandung penerapan topik matematika didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; (i) untuk mengungkapkan jenis aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, dan (ii) mempertimbangkan pantas tidaknya konteks itu sebagai hal yang berpengaruh dalam proses matematisasi progresif. Secara historis, matematika dikembangkan dari penyelesaian masalah praktis sehingga dimungkinkan ditemukan masalah yang melahirkan proses perkembangan dalam aplikasi terkini. Selanjutnya dapat dibayangkan bahwa matematika  formal terbentuk melalui proses generalisasi dan formalisasi prosedur-prosedur penyelesaian masalah situasi khusus dan konsep tentang berbagai situasi. Karena itu, tujuan investigasi fenomena ini adalah menemukan situasi-situasi masalah dengan prosedur penyelesaian dapat digeneralisasi dan untuk menemukan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar untuk matematisasi vertikal. (Gravemeijer, 1994:90)

c.  Mengembangkan  sendiri model-model (self developed model)

     Pada prinsip ini dinyatakan bahwa model yang dikembangkan sendiri oleh siswa berperan menjembatani perbedaan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada mulanya, model ini merupakan model yang sudah dikenal siswa. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model itu menjadi sesuatu yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada situasi asalnya. Hal ini sangat mungkin digunakan sebagai model untuk penalaran matematika (Gravemeijer, 1994:91). Lebih lanjut Gravemeijer (1994:102) menyebutkan bahwa siswa belajar dari tahap situasi nyata, tahap pemodelan (referensi), generalisasi dan tahap formal matematika. Soedjadi (2001:4) menggambarkan bahwa urutan pembelajaran tersebut adalah: masalah kontekstual ® model dari masalah kontekstual ® model ke arah formal ® pengetahuan formal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar