Kamis, 29 Desember 2011

METACOGNISI


Metakognisi

1. Pengertian
            Secara terminologis metakognisi berasal dari kata “meta” dan “cognition”. Awalan kata “meta” di sini bukan dimaksudkan untuk menunjuk ke makna yang fundamental seperti kata metafisika atau metamemori (Lawson, 1980;146), melainkan seperti yang ditegaskan Lawson (1984;90); “ ... the meta prefix refers to a reflective of cognitive processes and control of cognition ...”. Selanjutnya kata kognisi itu sendiri didefinisikan secara sempit sebagai “kesadaran” dan secara luas didefinisikan sebagai proses mental yang lebih tinggi seperti kecerdasan, penalaran, kreativitas, ingatan, pemecahan masalah dan persepsi (Murray & Morsberg, 1982:297).
            Beberapa pakar telah mengungkapkan definisi metakognisi dengan makna yang relatif sama. Flawell (1976, dalam Marzano dkk, 1988:9) menyatakan : “Metacognition refers to one’s knowledge concerning one’s own cognitive processes and products or anything related to them ...”, Lawson (1980:145) mengetengahkan: “Metacognition involves the monitoring and regulation of information-processing strategies”. Marzano, dkk(1988:9) menyatakan: “ ... metacognition is being aware of our thinking as we perform specific taksks and then using this awareness to control what we are doing.” Armbruster & Anderson (1985:5220) menulis: “ Metacognition refers to both the awareness and control that readers have over their own thinking ...”. dan Gombert (1992: 5-6) menegaskan bahwa: “ In short, “metacognition refers to all knowledge which has as its object, or regulates any aspect of, any cognitive task.”
Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar tersebut, pada umumnya memberikan penekanan bahwa metakognisi adalah pengetahuan (awareness) seseorang tentang proses pemantauan (monitoring) dan pengendalian (regulatiing atau controling) pikiran dan tindakannya sendiri. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah thinking about thinking ( berfikir tentang berfikir ) atau learn how to learn  ( belajar bagaimana belajar ) (Livington, 1997 ).
            O’Neil & Brown (1997) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai proses seseorang berfikir tentang berfikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan pengertian di atas, Nur (2000) mengemukakan bahwa metakognisi berhubungan dengan berfikir siswa tentang berfikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual menyadari bahwa membuat sesuatu peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan mengingat sejumlah besar informasi baru.
            Huiit (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang sistem kognitifnya, berfikir seseorang tentang berfikirnya, dan ketrampilan esensial seseorang dalam “ belajar untuk Belajar “.
            Gambaran yang lebih jelas tentang metakognisi dapat difahami dalam pengertian yang dikemukakan oleh Flavell (Mohammmad Nur, 2000) sebagai berikut :
               “Metakognisi adalah pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk kognitif orang itu sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan  proses dan produk tersebut . …… Metakognitif berhubungan dengan salah satu diantaranya dengan pemonitoran aktif dan pengendalian yang konsekuen serta pengorganisasian proses pemonitoran dan pengendalian ini berhubungan dengan tujuan kognitif, pada masa proses-proses tersebut , umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret.”
            Brown ( dalam Livington, 1997) mengemukakan bahwa pengalaman metakognitif meliputi penggunaan strategi-strategi metakognitif atau regulasi metakognitif. Sejalan dengan itu,  Nur (2000) menjelaskan bahwa pemonitoran kognitif adalah kemampuan siswa untuk memilih, menggunakan, dan memonitor strategi-strategi belajar yang cocok, cocok dengan gaya belajar mereka sendiri maupun dengan situasi tugas yang sedang dihadapi. Mengenai pentingnya pemonitoran kognitif ini, winkel (1996) mengemukakan bahwa :
               “ Biarpun siswa diberikan berbagai strategi kognitif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan problem tertentu, namun tidak berarti bahwa strategi itu dapat digunakan terhadap segala macam problem. Akhirnya siswa harus menyerap strategi-strategi itu, kemudian menentukan sendiri strategi mana yang cocok dengan masalah A dan mana yang cocok dengan masalah B. Dengan kata lain, fleksibelitas dalam berfikir di ihak siswa merupakan sasaran instruksional yang sangat ideal.”
                 
2. Kedudukan dalam S\istem Pemrosesan Informasi
                  Pada tataran dasar teoritis, Nelson & narens (1992:117) mengajukan tiga prinsip dalam memahami atau menganalisis metakognisi, yaitu: (1) peoses-proses kognitif terbagi ke dalam dua tau lebih tingkat (level) kekhususan yang saling berhubungan yaitu: tingkat meta dan tingkat obyek, (2) tingkat meta berisi model dinamis (tiruan mental) dari tingkat obyek, dan (3) ada dua hubungan dominan berkenaan dengan alur informasi antara tingkat meta dan tingkat obyek tersebut, yaitu control dan monitoring. Mekanisme kerja dari ketiga prinsip ini sebagaimana divisualisasikan pada bagan 2.1. berikut :











                                                                                                              META - LEVEL
       Control                                                       Monitoring               Flow of Information
                                                                                                            OBJECT - LEVEL

A Theoretical Mechanism of Metacognition : Two Structures (meta-level and object-level) and Two Relations (the direction and the flow of information between the two levels) (diambil dari Nelson & Narens, 1992:117)

Bagan 2.1. Mekanisme Teoritis Metacognisi
                  Dalam teori pemrosesan informasi, metakognisi dipandang sebagai salah satu substansi sistem pemrosesan informasi (Dahar, 1989:34). Metakognisi adalah aspek kognitif yang berperan mengendalikan semua aspek kognitif lainnya. Secara visual hal ini sebagaimana dipaparkan pada bagan 2.2. dibawah ini :
 
                                    INFORMATION
                                                                        is operated on by
                                      PROCESSES
                                                                        which are utilized by
                                    STRATEGIES
                                                                        Whose actions is initiated, monitored,                                                                                     regulated by
                                    METACOGNITION
Metacognition as Part of An
 Information Processing System
(Diambil dari Lawson, 1980:147)

Bagan 2.2. Kedudukan Metakognisi dalam Sistem pemrosesan Informasi

                  Informasi yang ditangkap individu dari interaksinya dengan lingkungannya ditransformasikan melalui proses-proses kognitif tertentu. Proses – proses ini bekerja menurut strategi kognitif  yang dipilih individu yang bersangkutan sesui dengan tugas yang diterimanya. Penentuan untuk menggunakan sebuah strategi, memantau strategi yang terdahulu,  atau menggantikannya dengan strategi lain berdasarkan pantauan inilah yang disebut metakognisi. Karena proses-proses dan strategi-strategi kognitif merupakan prasyarat logis dari metakognisi.

3. Ruang Lingkup Metakognisi
                  Dari sudut pandang ruang lingkupnya, metakognisi dapat dipandang sebagai bagian dari “Model Monitoring Kognitif” yang dikemukakan oleh Flavell (1992:4) yang menyajikan hubungan dinamis antara empat komponen, yaitu metacognitive Knowledge, metacognitive Experience, Goals (or Tasks), dan Actions (or strategies).
                  Metacognitive Knowledge (pengetahuan metakognitif) adalah pengetahuan seseorang tentang unsur-unsur yang mempengaruhi jalannya kognisi dan hasil proses kognitifnya sendiri. Secara garis besar unsur-unsur ini meliputi: (1) pribadi yang mengacu  pada apa yang diyakini seseorang tentang keadaan pikirannya sendiri (cerdas, kurang cerdas ), (2) Tugas, merupakan hal yang berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang sifat tertentu (sulit atau mudah), dan (3) Strategi, berkaitan dengan pengetahuan seseorang tentang cara-cara untuk mengejakan sesuatu kegiatan (lebih tepat, kurang tepat, dls). Dalam kaitannya dalam pembelajaran pengetahuan metakognitif yang dimiliki oleh siswa  berkaitan dengan keyakinan dirinya tentang kecerdasannya, seberapa pengetahuannya, kesadaran akan tingkat kesulitan tugas yang dikerjakannya  dan  cara-cara yang dianggap sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Metacognitive Experience (pengalaman Metakognisi) adalah pengalaman-pengalaman yang mengikuti kegiatan intelektual seseorang. Meskipun pengalaman pada umunya merupakan unsur afektif, namun sepanjang prosesnya melibatkan unsur kognitif.      Pengalaman metakognitif yang diintegrasikan dengan pengetahuan metakognitif, strategi kognitif, dan goals menurut Flavell (1933:150 & 153) dapat melahirkan “self-monitoring” dan “self-regulation”.
Pengetahuan metakognitif yang di dalamnya termuat keyakinan-keyakinan ( beliefes atau system of beliefs) berkedudukan sebagai rujukan dan referensi pengalaman metakognisinya. Pengalaman metakognitif yang diantaranya terdapat perasaan dan keingintahuan berkedudukan sebagai pemantau dan pengarah (proses) dan dapat memberikan sejumlah dampak penting terhadap tujuan, sementara strategi-strategi kognitif dan tindakan-tindakan ekspresinnya berkedudukan sebagai pelaksana dalam rangka mencapai tujuan.

B. Keterampilan Metakognitif 
Menurut Huda dalam Mukminatien (2000), seorang pembelajar dapat dikatakan sebagai pembelajar yang trampil dan mandiri (learner autonomy) apabila ia dapat : (1) mengetahui tujuan pembelajaran dan mengetahui apa yang sedang diajarkan, (2) mengetahui tujuan belajarnya sendiri, (3) memiliki strategi belajarnya sendiri, (4) memonitor kemajuan belajarnya sendiri, serta (5) dapat mengevaluasi strategi belajarnya sendiri
Dalam sudut pandang lain, metakognisi didefinisikan sebagai keterampilan kompleks yang dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan khusus, kemudian mengumpulkan dan mengumpulkan kembali keterampilan-keterampilan ini ke dalam strategi belajar yang tepat terhadap suatu masalah khusus atau isu-isu dalam konteks yang berbeda  sehingga siswa mampu menjadi seorang pembelajar yang mandiri. (Sharples dan Mathews, 1989:13).
Bagaimana halnya obyek kajian matematika yang lain, kemampuan metakognisi siswa sebagai salah satu aspek pengetahuan dan tujuan pembelajaran matematika perlu dikembangkan melalui pengajaran dan pelatihan. Keterampilan metakognitif yang dilatihkan pada siswa  meliputi kesadaran, merancang, memonitor dan merevisi kerja mereka sendiri serta menganalisis prestasi belajarnya sendiri. Oleh karena itu pembelajaran  akan difokuskan untuk mengembangkan: (1) kemampuan mahasiswa/siswa untuk memahami materi; (2) kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah; dan (3) keyakinan siswa dalam kemampuan pemecahan masalahnya. Akhirnya, apabila siswa menyadari akan proses yang mereka gunakan, dan apabila mereka belajar untuk kontrol proses kognitif ini, kemampuan mereka untuk transfer keterampilan pemecahan masalah meningkat (Brown, Anderson, Shillcock, & Yule, 1984; Perkins, 1984, 1985, 1986; Resnick, 1985; Weinert & Kluwe, 1987) dalam (Jacob, 2003: 18).
      Mengajar keterampilan metakognitif dapat dilakukan sesuai dengan teori yang diusulkan oleh Mayer (Jacob, 2003: 18-19), yaitu: (1) translasi (translation); (2) integrasi (integration); (3) perencanaan dan monitoring (planning and monitoring); serta (4) pelaksanaan solusi (solution execution).
      Translasi membutuhkan pengetahuan linguistik yang membolehkan siswa untuk mengerti kalimat dan fakta-fakta tertentu. Pengetahuan faktual merupakan suatu komponen kunci dalam translasi. Sedangkan Integrasi dibutuhkan  siswa untuk menggabungkan masing-masing pernyataan ke dalam suatu representasi yang berkaitan secara logis serta dengan memiliki pengetahuan sistematik siswa dapat mengenal dan melakukan  pendekatan kepada tipe-tipe masalah.
Perencanaan dan monitoring membutuhkan pengetahuan strategi yang terfokus pada bagaimana untuk menyelesaikan masalah. Merencanakan dan memonitoring suatu rancangan solusi merupakan aspek krusial dari pemecahan masalah sistematis. Siswa sangat berbeda dalam pendekatan dan kemampuannya untuk memonitor perencanaan solusi.     Pelaksanaan solusi mewajibkan siswa untuk menggunakan pengetahuan prosedural untuk mengaplikasikan aturan aritmetika secara akurat serta efisien saat melakukan kalkulasi dalam merancang solusi. Pengetahuan prosedural ini didemonstrasikan apabila melaksanakan suatu prosedur seperti multiplikasi atau penjumlahan.
Flavel (Nurdin, 2007) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu : (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or regulation). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Brown dan Gagne (Muhammmad Nur, 2000) bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu :  (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif.
Huiit (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan yang berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :
a)      Apa yang saya ketahui tentang topic atau masalah ini ?
b)      Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya ?
c)      Tahukah saya darimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan ?
d)     Berapa lama waktu yang diperlikan untuk mmempelajarinya ?
e)      Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk mempelajarinya ?
f)       Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat ?
g)      Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat ?
h)      Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?
Mohammad Nur (2002) mengemukakan secara operasional tentang kemampuan metakognitif yang dapat diajarkan pada siswa, seperti kemampuan-kemampuan untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak.
       North Central Regional Education Laboratory (NCREL) (2005) mengemukakan tiga elemen dasar dari metakognisi secara khusus dalam menghadapi tugas, yaitu : (a) mengembangkan rencana tindakan, (b) mengatur atau memonitor, dan (c) mengevaluasi rencana. Lebih jauh NCREL (1995)  memberikan petunjuk melaksanakan ketiga komponen metakognisi tersebut adalah sebagai berikut :
Sebelum : Ketika kamu mengembangkan rencana tindakan, tanyalah dirimu :
·         Pengetahuan apa yang membantu dalam tugas ini ?
·         Petunjuk apa yang dapat digunakan dalam berfikir ?
·         Apa yang pertama akan saya lakukan ?
·         Mengapa saya membaca (bagian) pilihan ini ?
·         Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap ?
Selama :  Ketika kamu mengatur atau memonitor rencana tindakan, tanyakan dirimu
·         Bagaimana saya melakukannya ?
·         Apakah saya berada pada jalur yang benar ?
·         Bagaimana saya meneruskannya ?
·         Informasi apa yang penting untuk diingat ?
·         Akankah saya pindah pada petunjuk yang lain ?
·         Akankah saya mengatur langkah-langkah bergantung pada kesulitan ?
·         Apa yang perlu dilakukan jika saya tidak mengerti ?
Sesudah : Ketika kamu mengevaluasi rencana tindakan, tanyakan dirimu :
·         Seberapa baik saya melakukannnya ?
·         Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang lebih sedikit dari yang saya perkirakan ?
·         Apakah saya dapat mmengerjakan dengan cara yang berbeda ?
·         Bagaimana saya dapat mengaplikasikan cara berfikir ini pada problem yang lain ?
·         Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi “kekosongan” pada ingatan saya ?
Dalam penelitian ini komponen-komponen metakognisi yang akan di bahas dan menjadi focus penelitian ini adalah :
(a)    pengetahuan siswa tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol strategi-strategi tersebut dalam belajar, berfikir dan bagaimana memecahkan masalah.
(b)   pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar, berfikir dan bagaimana memecahkan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya.
Mengenai strategi guru untuk meningkatkan metakognisi siswa, menurut Huiit (1997) mengemukakan beberapa contoh sebagai berikut :
·         Mintalah siswa untuk memonitor belajar dan berfikir mereka sendiri.
·         Mintalah siswa mempelajarai strategi belajar
·         Mintalah siswa membuat prediksi tentang informasi yang akan dipresentasikan berdasarkan apa yang telah mereka baca.
·         Mintalah siswa menghubungkan ide-ide untuk membentuk struktur pengetahuan.
·         Mintalah siswa membuat pertanyaan-pertanyaan, bertanya pada diri mereka sendiri tentang apa yang terjadi disekeliling mereka.
·         Bantulah siswa untuk mengetahui kapan bertanya untuk membantu.
·         Tunjukkan siswa bagaimana mentransfer pengetahuan, sikap, nilai, dan ketrampilan pada situasi atau tugas lain.

Walaupun secara redaksional pengertian dan komponen-komponen metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama. 

Jumat, 25 November 2011

PEMBELAJARAN BERORIENTASI KOMPETENSI SISWA


Model-model Belajar 1


Guru memahami bagaimana siswa belajar ?, guru (kita) harus bisa menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa sehingga dapat bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya. Model-model belajar yang dimaksud adalah berbagai cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama
temannya atau orang yang lebih tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.



 Ada berbagai model belajar tersebut di aantaranya, yaitu:

  1. Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Negeri Surabaya akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map). Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas,  kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif. Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.

  1.  Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, missal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon). Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan. Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya. Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nuranikeyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’asebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya.   Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini. Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya multi dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonalreflective, Logic-thinking-reasoning.

  1. Metakognitif
Metakognitif Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi. Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi. Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi. Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

  1. Komunikasi Siswa
Dalam belajar tidakakan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif. Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri. Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakah menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakan saya ;.; bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika ada kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa,yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.

  1. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efekti (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi). Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ingngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar. Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%. Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).

 6. Konstruksivisme
 Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi. Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran. Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP). 7. Prinsip Belajar Aktif Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dansecara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatanuntuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan. Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukanmengkomunikasikan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpikul rasa tanggung jawab dan disiplin diri. Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill. D. Model-model Pembelajaran Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi.

7.   Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatanitu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi. Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

8.     Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah,terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi. Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).


9.     Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukaninformal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

10.  Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi). 5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning) Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal. Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

Minggu, 30 Oktober 2011

                                         Penanaman Nilai (Karakter) Dalam Kegiatan Pembelajaran

          Eksplorasi adalah upaya awal membangun pengetahuan melalui peningkatan pemahaman atas suatu fenomena (American Dictionary). Strategi yang digunakan memperluas dan memperdalam pengetahuan dengan menerapkan strategi belajar aktif.
Eksplorasi merupakan proses kerja dalam memfasilitasi proses belajar siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Siswa menghubungkan pikiran yang terdahulu dengan pengalaman belajarnya. Mereka menggambarkan pemahaman yang mendalam untuk memberikan respon yang mendalam juga. Bagaimana membedakan peran masing-masing dalam kegiatan belajar bersama. Mereka melakukan pembagian tugas seperti dalam tugas merekam, mencari informasi melalui internet serta memberikan respon kreatif dalam berdialog.
Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan siswa mencari dan menghimpun informasi, menggunakan media untuk memperkaya pengalaman mengelola informasi, memfasilitasi siswa berinteraksi sehingga siswa aktif, medorong siswa mengamati berbagai gejala, menangkap tanda-tanda yang membedakan dengan gejalan pada peristiwa lain, mengamati objek di lapangan dan labolatorium.
Dalam kegiatan elaborasi, guru mendorong siswa membaca dan menuliskan hasil eksplorasi, mendiskusikan, mendengar pendapat, untuk lebih mendalami sesuatu, menganalisis kekuatan atau kelemahan argumen, mendalami pengetahuan tentang sesuatu, membangun kesepakatan melalui kegaitan kooperatif dan kolaborasi, membiasakan peserta didik membaca dan menulis, menguji prediksi atau hipotesis, menyimpulkan bersama, dan menyusun laporan atau tulisan, menyajikan hasil belajar.
Dalam Konfirmasi guru memberikan umpan balik terhadap yang siswa hasilkan melalui pengalaman belajar, memberikan apresiasi terhadap kekuatan dan kelemahan hasil belajar dengan menggunakan teori yang guru kuasi, menambah informasi yang seharusnya siswa kuasai, mendorong siswa untuk menggunakan pengetahuan lebih lanjut dari sumber yang terpecaya untuk lebih menguatkan penguasaan kompetensi belajar agar lebih bermakna. Dan, setelah memeperoleh keyakinan maka siswa dalam mengerjakan tugas-tugas untuk mengasilkan produk belajar yang kongkrit dan kontekstual.Guru membantu siswa menyelesikan masalah dan menerapkan ilmu dalam aktivitas yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap mata palajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan dalam diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mata pelajaran yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Distribusi penanaman nilai-nilai utama dalam tiap mata pelajaran dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pendidikan Agama: Nilai utama yang ditanamkan antara lain: religius, jujur, santun, disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil.
2. Pendidikan Kewargaan Negara: Nasionalis, patuh pada aturan sosial, demokratis, jujur, mengahrgai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain.
3. Bahasa Indonesia: Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis.
4. Ilmu Pengetahuan Sosial: Nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras.
5. Ilmu Pengetahuan Alam: Ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu
6. Bahasa Inggris: Menghargai keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, bekerja sama, patuh pada aturan sosial
7. Seni Budaya: Menghargai keberagaman, nasionalis, dan menghargai karya orang lain, ingin, jujur, disiplin, demokratis
8. Penjasorkes: Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, mengahrgai karya dan prestasi orang lain
9. TIK/Ketrampilan: Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain.
10. Muatan Lokal: Menghargai kebersamaan, menghargai karya orang lain, nasional, peduli.
Bagaimana kesemuanya diaplikasikan? Setiap nilai utama tersebut dapat dimasukkan ke dalam pembelajaran mulai dari kegiatan eksplorasi, elaborasi, sampai dengan konfirmasi.
Bagian pertama adalah Eksplorasi, antara lain dengan cara:
1. Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif, kerjasama)
2. Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, kerja keras)
3. Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, peduli lingkungan)
4. Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)
5. Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)
Bagian kedua adalah Elaborasi, nilai-nilai yang dapat ditanamkan antara lain:
1. Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu, kreatif, logis)
2. Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai, santun)
3. Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis)
4. Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)
5. Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras, menghargai)
6. Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
7. Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
8. Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
9. Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
Dan bagian ketiga adalah konfirmasi, nilai-nilainya antara lain:
1. Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)
2. Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, kritis)
3. Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan dan kekurangan)
4. Memfasilitasi peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap, antara lain dengan guru:
• Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, santun);
• membantu menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);
• Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan: kritis)
• Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu); dan
• Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).
Penanaman nilai inilah yang nantinya diharapkan akan menjadikan peserta didik menjadi lebih berkarakter.