Pembelajaran Matematika Realistik
Freudenthal, Sekitar tahun 1971, memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME), makna Indonesianya adalah pendidikan matematika realistik dan secara operasional disebut sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
PMR
awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep
Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human
activities), ide utamanya adalah siswa harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan atau tanpa bimbingan orang
dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan-persoalan "realistik" yakni yang berkaitan dengan realitas
atau situasi yang dapat dibayangkan siswa.
Soedjadi
(2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya
adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu.
Dalam PMR siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Proses ini disebut matematisasi horisontal. Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Tetapi setelah beberapa waktu, setelah siswa familiar dengan proses-proses pemecahan yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), mereka akan menggunakan bahasa yang lebih formal, dan diakhiri proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai mereka menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memanfatkan masalah kontekstual yang mudah difahami siswa kemudian siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah yang diberikan secara mandiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimilikinya. Kegiatan ini mengandung arti bahwa siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan, menginterpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Dalam hal ini keaktifan siswa lebih diutamakan, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Siswa bebas mengeluarkan idenya, mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu siswa (secara terbatas) untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil keputusan tentang ide mana yang paling tepat, efisien dan mudah dipahami oleh mereka. Dalam kaitannya dengan matematika sebagai aktivitas manusia maka siswa telah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan masalah kontekstual. Setelah pembentukan dan menemukan konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual sebagai aplikasi untuk memperkuat pemahaman konsep pada dunia nyata
Teori Piaget tentang perkembangan intelektual ini menggambarkan suatu proses dimana anak secara aktif membangun pengetahuan dan pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya dengan terus-menerus melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap informasi baru yang diterima.. Teori Piaget sangat relevan dengan PMR. Karena dalam PMR juga memfokuskan pada proses berpikir siswa, bukan pada hasil. Di samping itu PMR mengutamakan peran siswa berinisiatif untuk menemukan jawaban dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru dengan caranya sendiri dan siswa didorong untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, langkah-langkah pembelajaran matematika realistik terkait dengan teori Piaget, yaitu pada:
a) Langkah ke-1 (memahami masalah
kontekstual), proses asimilasi dan akomodasi berlangsung dalam pikiran siswa
ketika memahami masalah kontekstual yang diberikan.
b) Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah
kontekstual), siswa secara aktif membangun pemahamannya dari hasil pengalaman
dan interaksi dengan lingkungannya. Di samping itu proses asimilasi dan
akomodasi masih tetap berlangsung dalam menyelesaikan masalah.
c)
Langkah
ke-4 (menyimpulkan), mengorganisasi proses-proses psikologi menjadi
sistem-sistem yang teratur dan berhubungan (struktur).
Ausubel (dalam Hudojo,
1988: 56), mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi yang
dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif siswa. Dengan demikian
siswa dapat mengaitkan pengetahuan barunya dengan struktur kognitif yang ia
miliki. Dengan belajar bermakna siswa akan dapat mengingat lebih lama tentang
apa yang ia pelajari. Di samping itu proses transfer belajar menjadi lebih
mudah dicapai.
Adanya struktur kognitif
dalam mental siswa merupakan dasar untuk mengaitkan struktur kognitif itu
dengan informasi baru. Banyaknya pengetahuan yang dapat dipelajari siswa
tergantung pada banyaknya informasi yang sudah ia ketahui. Menurut Ausubel,
menghafal berlawanan dengan belajar bermakna. Menghafal pada hakekatnya
mendapatkan informasi yang terisolasi sedemikian rupa sehingga siswa tidak
dapat mengaitkan informasi yang diperoleh ke dalam struktur kognitifnya. Oleh
karena itu, pembelajaran hendaklah lebih mengutamakan pengertian dari pada
hafalan.
Di
samping itu keterkaitan antara informasi yang akan dipelajari siswa dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki siswa dalam PMR nampak pada
masalah-masalah kontekstual yang diberikan disesuaikan dengan lingkungan siswa,
sebagai hal-hal yang nyata dan dapat diamati atau sekurang-kurangnya dapat
dibayangkan oleh siswa.
Prinsip
Pembelajaran Matematika Realistik
Ada tiga prinsip kunci
dalam mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu: (a) guided reinvention and progressive
mathematizing, (b) didactical
phenomenology dan (c) self-developed models. Ketiga prinsip
tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut (
a.
Penemuan kembali secara
terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention
and progressive mathematizing)
Berdasarkan prinsip reinvention,
para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan
proses saat konsep-konsep matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat
dijadikan sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip
reinvention dapat pula dikembangkan berdasarkan prosedur penyelesaian informal.
Dalam hal ini strategi informal dapat difahami untuk mengantisipasi prosedur
penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut, maka perlu dirumuskan masalah
kontekstual yang dapat mengundang beragam prosedur penyelesaian yang
mengindikasikan rute belajar melalui proses matematisasi progresif
(Gravemeijer, 1994:90)
b. Fenomena yang bersifat mendidik (didactical
phenomenology)
Berdasarkan prinsip ini penentuan
situasi yang mengandung penerapan topik matematika didasarkan pada dua
pertimbangan, yaitu; (i) untuk mengungkapkan jenis aplikasi yang harus
diantisipasi dalam pembelajaran, dan (ii) mempertimbangkan pantas tidaknya konteks
itu sebagai hal yang berpengaruh dalam proses matematisasi progresif. Secara
historis, matematika dikembangkan dari penyelesaian masalah praktis sehingga
dimungkinkan ditemukan masalah yang melahirkan proses perkembangan dalam
aplikasi terkini. Selanjutnya dapat dibayangkan bahwa matematika formal terbentuk melalui proses generalisasi
dan formalisasi prosedur-prosedur penyelesaian masalah situasi khusus dan
konsep tentang berbagai situasi. Karena itu, tujuan investigasi fenomena ini
adalah menemukan situasi-situasi masalah dengan prosedur penyelesaian dapat
digeneralisasi dan untuk menemukan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan
dasar untuk matematisasi vertikal. (Gravemeijer, 1994:90)
c. Mengembangkan
sendiri model-model (self developed model)
Pada prinsip ini dinyatakan bahwa model yang dikembangkan
sendiri oleh siswa berperan menjembatani perbedaan antara pengetahuan informal
dan matematika formal. Pada mulanya, model ini merupakan model yang sudah
dikenal siswa. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model itu menjadi
sesuatu yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada situasi asalnya. Hal ini
sangat mungkin digunakan sebagai model untuk penalaran matematika (Gravemeijer,
1994:91). Lebih lanjut Gravemeijer (1994:102) menyebutkan bahwa siswa belajar
dari tahap situasi nyata, tahap pemodelan (referensi), generalisasi dan tahap
formal matematika. Soedjadi (2001:4) menggambarkan bahwa urutan pembelajaran
tersebut adalah: masalah kontekstual ® model dari masalah kontekstual ® model ke arah formal ® pengetahuan formal.
Tiga prinsip kunci PMR
dalam implementasinya melahirkan karakteristik pembelajaran matematika
realistik, yaitu: (1) the use
of context , (2) the use of models, bridging by vertical
instrument, (3) student
contribution, (4) interactivity and (5) intertwining (Gravemeijer,1994:114,
De Lange, 1987:75). Penjelasan dari kelima karakteristik tersebut, secara
singkat sebagai berikut:
a.
Menggunakan masalah
kontekstual (the use of context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah
kontekstual, tidak dimulai dengan sistem formal. Masalah kontekstual yang
diangkat sebagai topik pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang
‘dikenal’ siswa.
b.
Menggunakan model (the
use models, bridging by vertical
instruments)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan
model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa sebagai jembatan antara
level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain dengan menggunakan
instrumen-instrumen vertikal seperti model-model, skema-skema, diagram-diagram,
simbol-simbol dan sebagainya
c.
Menggunakan kontribusi siswa
(student contribution)
Kontribusi yang besar pada proses
belajar diharapkan datang dari siswa, artinya semua pikiran (konstruksi dan
produksi) siswa diperhatikan
d.
Proses pengajaran yang
interaktif (interactivity)
Mengoptimalkan proses mengajar-belajar dan terdapat
interaksi yang terus-menerus antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan
siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam pembelajaran
matematika realistik, sedemikian hingga setiap siswa mendapatkan manfaat
positif dari interaksi tersebut.
e.
Terintegrasi dengan topik
lainnya (intertwining)
Matematika merupakan ilmu yang terstruktur. Oleh
karena itu keterkaitan dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus
dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses mengajar belajar yang lebih
bermakna. U-ma