Kamis, 28 Desember 2023

Pembelajaran Matematika Realistik

 

 Pembelajaran Matematika Realistik




Freudenthal, Sekitar tahun 1971,  memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME), makna Indonesianya adalah pendidikan matematika realistik dan secara operasional disebut sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

PMR awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human activities), ide utamanya adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan atau tanpa bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan "realistik" yakni yang berkaitan dengan realitas atau situasi yang dapat dibayangkan siswa.

Soedjadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu. 

Dalam PMR siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Proses ini disebut matematisasi horisontal. Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Tetapi setelah beberapa waktu, setelah siswa familiar dengan proses-proses pemecahan yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), mereka akan menggunakan bahasa yang lebih formal, dan diakhiri proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai mereka menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal.  

Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memanfatkan masalah kontekstual  yang mudah difahami siswa kemudian siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah yang diberikan secara mandiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimilikinya. Kegiatan ini mengandung arti bahwa siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan, menginterpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Dalam hal ini keaktifan siswa lebih diutamakan, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Siswa bebas mengeluarkan idenya, mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu siswa (secara terbatas) untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil keputusan tentang ide mana yang paling tepat, efisien dan mudah dipahami oleh mereka. Dalam kaitannya dengan matematika sebagai aktivitas manusia maka siswa telah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan masalah kontekstual. Setelah pembentukan  dan menemukan konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual sebagai aplikasi untuk memperkuat pemahaman konsep pada dunia nyata

    Teori Piaget tentang perkembangan intelektual ini menggambarkan suatu proses dimana anak secara aktif membangun pengetahuan dan pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya dengan terus-menerus melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap informasi baru yang diterima.. Teori Piaget sangat relevan dengan PMR. Karena dalam PMR juga memfokuskan pada proses berpikir siswa, bukan pada hasil. Di samping itu PMR mengutamakan peran siswa berinisiatif untuk menemukan jawaban dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru dengan caranya sendiri dan siswa didorong untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, langkah-langkah pembelajaran matematika realistik terkait dengan teori Piaget, yaitu pada:

a)     Langkah ke-1 (memahami masalah kontekstual), proses asimilasi dan akomodasi berlangsung dalam pikiran siswa ketika memahami masalah kontekstual yang diberikan.

b)     Langkah ke-2 (menyelesaikan masalah kontekstual), siswa secara aktif membangun pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Di samping itu proses asimilasi dan akomodasi masih tetap berlangsung dalam menyelesaikan masalah.

c)     Langkah ke-4 (menyimpulkan), mengorganisasi proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan (struktur).

Ausubel (dalam Hudojo, 1988: 56), mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi yang dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif siswa. Dengan demikian siswa dapat mengaitkan pengetahuan barunya dengan struktur kognitif yang ia miliki. Dengan belajar bermakna siswa akan dapat mengingat lebih lama tentang apa yang ia pelajari. Di samping itu proses transfer belajar menjadi lebih mudah dicapai.

Adanya struktur kognitif dalam mental siswa merupakan dasar untuk mengaitkan struktur kognitif itu dengan informasi baru. Banyaknya pengetahuan yang dapat dipelajari siswa tergantung pada banyaknya informasi yang sudah ia ketahui. Menurut Ausubel, menghafal berlawanan dengan belajar bermakna. Menghafal pada hakekatnya mendapatkan informasi yang terisolasi sedemikian rupa sehingga siswa tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh ke dalam struktur kognitifnya. Oleh karena itu, pembelajaran hendaklah lebih mengutamakan pengertian dari pada hafalan.

 Di samping itu keterkaitan antara informasi yang akan dipelajari siswa dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa dalam PMR nampak pada masalah-masalah kontekstual yang diberikan disesuaikan dengan lingkungan siswa, sebagai hal-hal yang nyata dan dapat diamati atau sekurang-kurangnya dapat dibayangkan oleh siswa. 

 



                  

Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu: (a) guided reinvention and progressive mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut (Gravemeijer (1994:90) ) :

a.   Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and  progressive mathematizing)

Berdasarkan prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat konsep-konsep matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasarkan prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat difahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut, maka perlu dirumuskan masalah kontekstual yang dapat mengundang beragam prosedur penyelesaian yang mengindikasikan rute belajar melalui proses matematisasi progresif (Gravemeijer, 1994:90)

b.  Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)

Berdasarkan prinsip ini penentuan situasi yang mengandung penerapan topik matematika didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; (i) untuk mengungkapkan jenis aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, dan (ii) mempertimbangkan pantas tidaknya konteks itu sebagai hal yang berpengaruh dalam proses matematisasi progresif. Secara historis, matematika dikembangkan dari penyelesaian masalah praktis sehingga dimungkinkan ditemukan masalah yang melahirkan proses perkembangan dalam aplikasi terkini. Selanjutnya dapat dibayangkan bahwa matematika  formal terbentuk melalui proses generalisasi dan formalisasi prosedur-prosedur penyelesaian masalah situasi khusus dan konsep tentang berbagai situasi. Karena itu, tujuan investigasi fenomena ini adalah menemukan situasi-situasi masalah dengan prosedur penyelesaian dapat digeneralisasi dan untuk menemukan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar untuk matematisasi vertikal. (Gravemeijer, 1994:90)

c.  Mengembangkan  sendiri model-model (self developed model)

     Pada prinsip ini dinyatakan bahwa model yang dikembangkan sendiri oleh siswa berperan menjembatani perbedaan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada mulanya, model ini merupakan model yang sudah dikenal siswa. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model itu menjadi sesuatu yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada situasi asalnya. Hal ini sangat mungkin digunakan sebagai model untuk penalaran matematika (Gravemeijer, 1994:91). Lebih lanjut Gravemeijer (1994:102) menyebutkan bahwa siswa belajar dari tahap situasi nyata, tahap pemodelan (referensi), generalisasi dan tahap formal matematika. Soedjadi (2001:4) menggambarkan bahwa urutan pembelajaran tersebut adalah: masalah kontekstual ® model dari masalah kontekstual ® model ke arah formal ® pengetahuan formal.

   Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

            Tiga prinsip kunci PMR dalam implementasinya melahirkan karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu: (1) the use of context , (2) the use of models, bridging by vertical instrument, (3) student contribution, (4) interactivity and (5) intertwining (Gravemeijer,1994:114, De Lange, 1987:75). Penjelasan dari kelima karakteristik tersebut, secara singkat sebagai berikut:

a.      Menggunakan masalah kontekstual (the use of context)

Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dengan sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang ‘dikenal’ siswa.

b.     Menggunakan model (the use models, bridging  by vertical instruments)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain dengan menggunakan instrumen-instrumen vertikal seperti model-model, skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol dan sebagainya

c.      Menggunakan kontribusi siswa (student contribution)

Kontribusi yang besar pada proses belajar diharapkan datang dari siswa, artinya semua pikiran (konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan

d.     Proses pengajaran yang interaktif (interactivity)

Mengoptimalkan proses mengajar-belajar dan terdapat interaksi yang terus-menerus antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam pembelajaran matematika realistik, sedemikian hingga setiap siswa mendapatkan manfaat positif dari interaksi tersebut.

e.      Terintegrasi dengan topik lainnya (intertwining)

Matematika merupakan ilmu yang terstruktur. Oleh karena itu keterkaitan dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses mengajar belajar yang lebih bermakna. U-ma

 


Kamis, 04 Mei 2023

Teori Belajar

 TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME



Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah :

1.Manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be

2. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya 


Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan.

Paradigma kinstruktivistik memandang bahwa peserta didik adalah pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan dasar tersebut akan menjadi dasar dalam menkonstruksi pengetahuan baru. Oleh sebab itu pengetahuan awal tersebut madih sangat sederhana sekalipun, menjadi tanggung jawab guru untuk mengembangkannya sesuai dengan standar kemampuan yang sudah digariskan dalam kurikulum.

Peranan kunci guru dalam perannya sebagai fasilitator dalam mengkonstruksi oengetahuan baru siswa adalah meliputi :

1. Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengambil keputusan dalam bertindak, guna menciptakan kemandirian berfikir  

2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik, guna menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak.

3. Memfasilitasi dengan menyediakan sistem  dukungan yang memudahkan siswa untuk berlatih secara optimal untuk menumbuhkan potensi dirinya


Pandangan konstruktivisme  mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung mumculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap suatu realita, konstruksi pengethuan, atau aktivitas - aktivitas lain yang didasarkan oada pengalaman mereka sebelumnya.

Pandangan konstruktivisme metakini bahwa realita ada pada pikiran seseorang, lalu dikonstruksi dan diinterpretasikan sesuai dengan pengalaman yang pernah dialaminya, struktur mental dan keyakinannya.

Pandangan konstruktivisme mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar secara individual, serta pengalaman baru yang didapatkan.

Guru dapat membantu peserta didik mengkonstruksi pemahaman konseptual dari pengalaman baru yang diperolehnya dengan cara  menghubungkan dengan pengetahuan dasar yang telah dimiliki oleh siswa.

Selanjutnya, evaluasi terhadap pencapaian belajar konstruktivisme dapat dilakukan dengan menggunakan goal-free-evaluation, yaitu suatu evaluasi yang dilakukan dimana evaluator tidak diberi informasi terlebih dahulu tentang kriteria dalam evaluasinya. Evaluasi dalam aliran konstruktivisme diarahkan pada tugas - tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir tibgkat tinggi.