Selasa, 19 November 2019

Mengembangkan Budaya Literasi Sekolah

MENGEMBANGKAN BUDAYA LITERASI SEKOLAH
Oleh : Ummi Masruroh, M.Pd.*




          Perintah  pertama yang diturunkan oleh Allah SWT  kepada Rosul Muhammad SAW  adalah perintah  " Iqra ", yang berarti  bacalah. Kata pertama dari wahyu yang disampaikan Allah  kepada Nabi Muhammad SAW memberi  isyarat akan  pentingnya  Iqro" atau membaca bagi umat manusia.  Apa yang harus dibaca?,  Ma aqra?, demikian pertanyaan balik Nabi setelah berulang-ulang Jibril menyampaikan  perintah tersebut, pada saat  itu Nabi Muhammad SWA ditakdirkan oleh Allah tidak bisa membaca dan menulis. Para ahli bahasa banyak yang mencoba  menerjemahkan  kata "iqro'" dalam Al Quran surat Al Alaq tersebut. Kata iqra berasal dari kata qara’a,  dalam kamus-kamus, kata ini memiliki arti yang bermacam-macam, diantaranya adalah membaca, menganalisa, mendalami, merenungkan, menyampaikan, meneliti dan lain sebagainya. Sehingga kegiatan membaca, menganalisa, mendalami, merenungkan dan menyampaikan dalam bentuk tulisan yang belakangan trend disebut sebagai kegiatan "Literasi" adalah perintah Allah yang pertama dan utama bagi umat manusia. Sehingga dengan demikian seharusnya setiap diri manusia merasa kegiatan literasi menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi seperti kebutuhan  kebutuhan pokok yang lain. Proses literasi yang meliputi membaca, menganalisa, mendalami, merenungkan,menyampaikan,meneliti dan lain sebagainya, semuanya  terjadi dalam  proses yang disebut dengan proses pendidikan.  Mernurut  Ki Hajar Dewantoro "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan  kesempurnaan hidup anak-anak kita."
            Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Artinya apa? Artinya adalah tingkat literasi Indonseia rendah , minat baca Indonesia sangatlah rendah, bahkan sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain, termasuk Singapura dan Malaysia. Sedangkan dari laporkan hasil studi yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain, diperoleh informasi bahwa kemampuan literasi Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei (Jakarta Post, 2016). Untuk meningkatkan kemampuan membaca masyarakat dunia, maka tanggal 8 September ditetapkan  sebagai tanggal untuk memperingati Hari Literasi Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO bahkan sudah sejak tanggal 17 November 1965 silam. Sedangkan, dalam penelitian  yang dilakukan oleh Programme for Internstional Student Assesment (PISA) 2012 menempatkan Indonesia pada posisi 64 dari 65 negara dalam budaya literasi masyarakat pada tahun 2012. Untuk minat baca siswa dalam penelitian sebelumnya pada tahun 2009, PISA menempatkan Indonesia di urutan 57 dari 65 negara (Republika, 15 Desember 2014).

           Literasi  secara mendasar diartikan sebagai  kemampuan di dalam membaca, menulis dan berhitung. Tetapi  literasi yang hanya terdiri dari baca, tulis dan hitung sekarang tidaklah cukup, tetapi telah mencakup  literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi informasi dan komunikasi, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Hasil membaca, menganalisi dan perenungan akan menjadi dokumen sejarah yang abadi dan sangat bermanfaat jika mampu dituliskan dalam sebuah dokumen atau buku. Maka ending dari kegiatan literasi harusnya berupa kemampuan  masyarakat untuk mengungkapkan  pemikirannya melalui tulisan. Tulisan merupakan bukti dari jejak rekam sejarah peradaban manusia yang berupa peristiwa, pengalaman, pengetahuan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan. Tulisan dapat menembus dan menelusuri lorong-lorong ruang dan waktu di masa lampau. Maka tulisan bisa menjadi warisan sepnajang jaman yang akan terus dikenang.
            Dari gambaran di atas, literasi merupakan keterampilan penting dalam hidup. Sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri peserta didik memengaruhi tingkat keberhasilan dalam pendidikannya, baik di sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya literasi seharusnya menjadi kegiatan yang mendarah daging dalam proses pendidikan. karena pendidikan tidak akan berhasil jika budaya literasi ini gagal diterapkan dalam suatu lembaga pendidikan. Bagaimana siswa bisa dikatakan berhasil jika dia malas membaca, tidak mau berfikir atau menganalisis. Mereka belajar disekolah dengan pandangan dan fikiran kosong tanpa motivasi maupun target. Sekolah dianggap oleh sebagian dari siswa-siswa tersebut tidak ubahnya sebagai tempat menghabiskan waktu dan  hanya sebagai  rutinitas saja, sangat ironis jika keadaan  tersebut  nyata masih banyak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan formal,  terutama sekolah  sekolah pinggiran.
             Pengembangan literasi di sekolah, mulai dicanangkan pemerintah dengan dikeluarkannya permen dikbud no.23 tahun 2015 tentang menumbuhkan minat baca siswa serta meningkatkan keterampilan di dalam membaca. Dalam permen dikbud tersebut dicanangkan  penumbuhan budi pekerti melalui pembiasaan membaca buku non-pelajaran selama 15 menit setiap hari sebelum pembelajaran dimulai. Permen Dikbud Nomor 23 tahun 2015 ini juga merupakan payung bagi keberlangsungan Gerakan Literasi Sekolah, untuk dijadikan sebuah program nasional, dengan harapan aktifitas membaca kedepannya bisa menjadi budaya bangsa Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai pengembangan dari Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tersebut. Awal peluncuran GLS sendiri dilakukan secara simbolis dengan memberikan buku-buku paket bacaan yang didistribusikan di berbagai sekolah sebagai tonggak budaya literasi.
          Hal yang paling mendasar dalam praktik literasi adalah kegiatan membaca. Keterampilan membaca merupakan fondasi untuk mempelajari berbagai hal lainnya. Kemampuan ini penting bagi pertumbuhan intelektual peserta didik. Melalui membaca peserta didik dapat menyerap pengetahuan dan mengeksplorasi dunia yang bermanfaat bagi kehidupannya.
          UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Karena sifatnya yang multiple Effect atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya budaya membaca, serta menulis di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, kita harus terus menerus  berupaya mendorong serta membimbing para generasi muda termasuk pelajar untuk mengembangkan budaya Literasi ini.
           National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Definisi tersebut menunjukkan  bahwa kemampuan Literasi merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak memiliki kemampuan membaca, menulis, berbicara dan berhitung yang baik,  maka bisa dipastikan ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya.
          Budaya literasi adalah sesuatu yang lebih luas dan yang lebih penting daripada sekadar keterampilan teknis membaca dan menulis yang bersifat individualistis.Siswa yang telah tertanam dalam dirinya budaya  literasi akan memiliki kesenangan atau kegemaran terhadap aktivitas baca-tulis, termasuk juga analisi dan memecahkan masalah. Jika dalam suatu komunitas sekolah sebagian besar warganya sedah memiliki kebiasaan ini, maka kemampuan literasi bukan lagi sekadar kemampuan tunggal, melainkan telah menjadi kemampuan Komunitas dalam sekolah tersebut. Dan jika kemampuan dan gerakan literasi itu sudah menjadi kebiasaan yang konsisten, maka terciptalah budaya literasi di sekolah tersebut.
           Gerakan literasi ini tampaknya masih sedikit sulit untuk dijalankan di sekolah-sekolah kita  Mengapa ?! Salah satu penyebabnya  adalah belum ada panduan literasi sekolah yang aplikatif, yang dapat menjadi acuan dalam implementasi pengembangan budaya literasi di sekolah, mengingat istilah budaya membaca di Indonesia sendiri masihlah belum menjadi kebiasaan.
Beberapa kendala yang banyak ditemui dilapangan yang menghambat berkembangnya gerakan literasi di sekolah, yaitu :
1. Kebiasaan membaca belum ditanamkan sejak dini. Orang tua sebagai Role model yang biasa berlaku di tingkat keluarga belum berfungsi secara baik dalam pengembangan budaya literasi di keluarganya.. Bahkan bisa jadi orang tua sendiri tidak memiliki kebiasaan membaca apalagi menulis, padahal anak biasanya akan mengikuti kebiasaan dari orang tuanya tersebut.
2.  Rendahnya kesadaran guru akan pentingnya literasi sebagai bagian utama dan sangat penting dalam mendukung proses belajar mengajar di sekolah , sehingga guru belum dapat  memberikan contoh.  Masih  banyak guru yang malas membaca,  juga masih enggan untuk melakukan kegiatan menulis yang bisa menjadi rolemodel bagi siswa dalam pengembangan kemampuan literasinya  di sekolah,
 3. Kepala sekolah dan guru masih banyak yang tidak memahami penerapan gerakan literasi di sekolah, sehingga sekolah kurang memperhatikan program pengembangan literasi, juga karena  kurangnya anggaran atau bahkan tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan gerakan literasi di sekolah.
4. Kebanyakan sekolah kurang menyadari pentingnya budaya leterasi sehingga kurang dalam memberikan motivasi kepada guru dan  siswa akan pentingnya budaya literasi. Sehingga perpustakaan yang sudah ada pun kadang  bagi sebagian sekolah kurang termanfaatkan secara optimal.
5. Kualitas sarana pendidikan yang masih minim, terutama fasilitas yang dapat mendukung kegiatan literasi. Sekolah-sekolah di daerah pinggiran jarang yang memiliki fasilitas perpustakaan dan koleksi buku-buku pengayaan  yang memadahi. Dengan keadaan demikian maka kemampuan sekolah untuk dapat mengembangkan budaya literasi di sekolah menjadi sangat terhambat.
6. Perkembangan teknologi Yang sangat pesat dengan adanya androit telah mencuri semua perhatian masyarakat terutama para generasi muda, yang belum dapat memanfaatkan secara bijak sebagai media literasi.
7. Produksi buku di Indonesia masih dianggap kurang. Hal ini terjadi karena penerbt di daerah belum bekermabang, adanya wajib pajak bagi penulis yang bahkan royaltinya saja sudah rendah sehingga motivasi mereka untuk menghasilkan karya yang berkualitas menjadi surut dan insentif bagi para produsen buku yang dinilai masih belum adil.
 Permasalahn - permasalahn di atas hanyalah sebagian dari masalah yang sangat komplek dalam upaya pengembangan budaya literasi di negeri ini. Masih banyak permasalahan - permasalahan masyarakat yang secara tidak langsung menghambat pengembangan budaya literasi, yaitu kemiskinan. Sehingga banyak anak-anak usia sekolah uang mestinya masih harus belajar dituntut untuk bekerja membantu orang tua. Namun demikian upaya untuk mengembangkan budaya literasi sudah mulai di gaungkan terutama oleh pemerintah dengan banyaknya lomba-lomba menulis, membuat buku, dls yang difasilitasi oleh pemerintah dengan biaya yang cukup tinggi. Demikian juga dengan banyaknya bermunculan penerbit- penerbit minor yang bersedia memfasilitasi Masyarakat terutama guru yang ingin menerbitkan bukunya. Ini adalah sebuah harapan besar budaya literasi akan mulai berkemvang di negeri kita tercinta ini.
 Sekolah sebagai ujung tombak pendidikan nasional, memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pengembangan literasi masyarakat. Dengan fadilitas dan guru pembimbing yang profesional memungkinkan  pengembangan budaya  literasi dimaksimalkan dari sekolah. Sekolah harus menjadikan program literasi sebagai program pertama dan utama dalam program-programnya, karena korelasi yang sangat besar antara keberhasilan belajar siswa dengan budaya literasi yang dikembangkan di sekolah atau yang disebut  dengan istilah Gerakan Literasi Sekolah (GSL).
Mengembangkan gerakan liyerasi sekolah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kemudian berharap menjadi kebiasaan dan membudaya di sekolah tersebut. Namun demikian upaya harus terus dilakukan, usaha keras dengan dukungan seluruh elemen sekolah dan konsistensi akan mendukung terlaksananya program tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakulan sekolah  dalam mengembangkan  Gerakan Literasi Sekolah ( GLS), antara lain :
1. Gerakan Literasi Sekolah harus di mulai dari dukungan sarana yang dimiliki sekolah.
Untuk memulai gerakan literasi di sekolah, sekolah harus dapat menyediakan fasilitas atau sarana perpustakaan dan buku-buku yang memadahi. Ketersediaan buku buku pengayaan yang cukup terhadap jenis buku yang relatif lengkap, mencakup buku-buku pengetahuan umum, buku-buku cerita, dls. Sehingga diharapkan dapat melayani semua minat siswa terhadap suatu pengetahuan dan informasi yang disukai. Hal ini dapat  mendorong tumbuhnya  minat siswa untuk membaca dan kemudian dapat mengembangkan bakat dan kemampuan  literasinya.  Sekolah juga harus memenuhi sarana literasi dengan menyediakan pojok baca pada tiap ruang kelas jika memungkinkan, atau setiap gedung jika sekolah terdiri dari beberapa gedung yang di tata semenarik mungkin, dan  nyaman yang menjadikan siswa betah berlama-lama di pojok  pojok baca atau  perpustakaan.
2. Guru harus dapat menjadi role model bagi siswa.
Gerakan Literasi Sekolah dapat mulai diterapkan dengan contoh dan keteladanan dari guru. Guru sebagai Agent of change harus dapat memberikan contoh kepada siswa tentang kebiasaan membaca yang ditunjukkan dengan aktifitas guru berkunjung ke perpustakaan dan membaca  atau menulis. Kebiasaan guru  dalam membaca atau update informasi  dapat ditunjukkan   dengan kemampuam guru untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi,  yang mendukung proses mengajarnya di kelas. Demikian juga dalam hal menulis, guru tidak hanya pandai memberikan motivasi dan memerintah siswa untuk menghasilkan karya tulis, melainkan guru juga harus berikan contoh dengan hadirnya tulisan-tulisan guru baik berupa makalah  laporan hasil penelitian, artikel, kumpulan cerita atau kumpulan puisi, dan lain sebagainya, yang terpampang di rak perpustakaan dan ,bisa dibaca oleh siswa. Akan lebih baik lagi jika ada diantara guru yang mampu menerbitkan buku dan ber ISBN. Ini sangat mendukung berkembangnya Gerakan Literasi Sekolah karena siswa telah memiliki sebuah model dalam pengembangan kemampuan literasi mereka yaitu dari guru-guru mereka.
Guru  sebagai designer of instruction atau perancang pengajaran harus memiliki kemampuan untuk merencanakan (merancang) kegiatan belajar mengajar secara efektif dan efisien yang mendukung gerakan Literasi sekolah . Oleh karenanya guru harus memahami tahap perkembangan literasi peserta didik dan dapat memilih strategi yang tepat dalam pemngembangan gerakan literasi hingga menjadi  pembiasaan yang selanjutnya diharapkan dapat menjadi budaya.
Guru sebagai manajer of instruction (pengelola pengajaran), memiliki kemampuan mengelola seluruh proses kegiatan belajar mengajar dengan menciptakan kondisi-kondisi belajar yang menarik  yang mendukung berkembangnyabgerakan literasi sekolah. Kegiatan literasi di sekolah dapat dikelola melalui program wajib membaca, belajar menulis sederhana tentang berbagai  situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekolah atau lingkungan tempat tinggal siswa.
Guru dengan fungsinya sebagai evaluator of student learning, mampu melakukan evaluasi yang bervariasi sehingga siswa tidak merasa bosan dan tertekan, yang diarahkan pada berkemvangnya budaya literasi. Guru harus dapat memahami kondisi psikologis peserta didik dapat memudahkan mendorong proses pembelajaran dan evaluasi peserta didik secara tepat, terutama yang terkait dengan tugas-tugas pengembangan kemampuan literasi.
3. Sekolah memberikan akses yang mudah
Diantara sarana yang memberikan akses mudah bagi siswa terhadap sumber - sunber bacaan yang mendukung pengembangan budaya literasi adalah pojok baca. Semakin banyakn pojok baca yang disiapkan, misal pada tiap kelas memiliki pojok baca, maka pengembangan gerakan  literasi menji lebih mudah. Meskipun demikian  stimulus atau ransangan yang akan menarik siswa pada  gerakan literasi harus diberikan  agar siswa lebih tertarik mendatangi pohok-pojok baca atau ruang perpustakaan. Kegiatan yang bisa dilakukan misalnya : dengan memberikan dorprize pada siswa di hari-hari tertentu, memberikan reward bagi siswa yang paling sering mengunjungi perpustakaan atau pojok baca, memberi hadiah pada siswa yang paling banyak membaca dan  pinjam buku , dam lain sebagainya.
4. Sekolah membuat kegiatan kompetisi literasi.
Dalam rangka memotivasi siswa untuk mencintai dunia literasi, sekolah dapat membuat  lomba - lomba yang mendukung motivasi dan meningkatkan  interest siswa terhafap dunia loterasi. Semisal mengadakan lomba duta Literasi atau semacamnya, yang dalam penilaiannya termasuk diantaranya adalah karya tulis yang pernah ditulis, dipublikasikan, serta banyak buku yang sudah dibaca, keaktifan membaca di perpus, dls.  Disamping itu sekolah juga bisa mengadakan lomba hasil karya literasi berupa cerpen, puisi dan karya sastra yang lain. Sekolah dapat memberikan reward  bagi pemenangnya dengan sesuatu yang menarik guna memancing kemauan dan kemampuan siswa dalam memulai mencintai dunia literasi.
6. Membukukan kumpulan hasil karya literasi siswa di perpustakaan.
 Ini merupakan langkah maju yang akan menjadikan siswa merasa bangga dan di hargai, karena tulisan tulisan mereka terabadikan di dalam sebuah buku yang di dokumentasikan di perpustakaan sekolah, perpustakaan daerah,  bahkan perpustakaan Nasional jika bukunya ber ISBN. Banyaknya penerbit minor sekarang yang bisa membantu dan dimanfaatkan untuk membantu menerbitkan buku-nuku ber-ISBN yang merupakan legalitas nasiobal terhadap karya tulis. Dengan memiliki ISBN, buku-buku hasil karya siswa akan ter-akui secara Nasional, dan dapat dipasarkan, serta beberapa ekxemplar dari buku tersebut harus di arsipkan di perpustakaan Nasional, dan perpustakaan daerah.
7. Menerbitkan majalah sekolah.
Majalah sekolah yang diterbitkan setiap 3 bulan sekali, 6bulan sekali atau bahkan setahun sekali, akan menjadi media yang sangat berarti dalam pengembangan gerakan literasi. Majalah yang memuat tulisan-tulisan guru dan siswa menunjukkan telah berjalannya gerakan literasi di sekolah. Majalah sekolah yang di manage secara baik dan dapat konsisten terbit akan mensuport terciptanya budaya literasi. Durasi oenerbitan dapat mrnjadi alat ukur sejauh mana budaya literasi telah berkembang di sekolah tersebut. Semakin pendek durasi oenerbitan majalah sekolah semakin menunjukkan prosuktifitas menulis dan dinamisnya budaya literasi di sekolah tersebut.
8. Membuat  majalah dinding
Majalah dinding atau mading yang di manage dengan baik dapat menjadi sangat efektif dalam mengembangkan budaya literasi siswa, terutama majalah dinding yang disediakan pada tiap kelas. Dimulai dari majalah dinding ini, siswa yang pada mulanya ragu terhadap karya tulis yang mereka buat sendiri, dan merasa gamang apakah tukisannya benar-benar bagus, atau justru akan ditertawakan oleh teman-tannya, menjadi sedikit lebih berani mengekspos tulisannya karena keterbatasan pembaca majalah dinding tersebut. Majalah dinding dapat merupakan media siswa untuk mencoba mengukur kemampuan dirinya dalam menulis. Satu dua kali dia menulis di majalah dinding dan mendapat respon yang baik, akan menimbuhkan motivasi dan semangat  pada diri siswa untuk menulis lebih baik dan lebih banyak lagi. Paling tidak dengan majalah dinding di kelas mereka, sudah memunculkan kesenangan dan minat siswa untuk mulai menulis, yang selanjutnya akan mendorongnya  untuk membuat tulisan yang dapat dimuat di media yang lebih luas jangkauannya, misalkan majalah dinding sekolah, atau majalah sekolah. Dengan adanya majalah dinding yang dibuat di setiap kelas, akan banyak siswa yang mulai berani memcoba untuk memulai menulis dan berkarya dan keadaan ini sangat mendukung terhadap tumbuhnya gerakan literasi di sekolah.
8. Memanfaatkan jaringan internet atau media sosial.
Dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, sangat mendukung budaya literasi bisa dikemvangkan secara maksimal di sekolah. Hampir setiap orang di masyarakat kita memiliki sebuah alat komunikasi yang  popular disebut  gaget. Bahkan dengan sebuah Handphone saja seseorang dapat membuat sebuah media yang dapat mengeksplorasi kemampuan literasinya dalam media tersebut, diantaranya adalah "Blog". Pada saat sekarang, membuat sebuah blog tidaklah hal yang sulit, terutama bagi siswa dan anak-anak muda yang setiap hari bergelut dengan gaget. Apalagi bagi siswa - siswa  yang belajar di sekolah-sekolah yang sudah menyiapkan jaringan internet yang dapat diakses oleh semua warga sekolah.
Langkah awal yang bisa dilakukan adalah  dengan memberikan pelatihan membuat blog pada siswa,  yang bisa dilakukan oleh guru TIK atau pembina ekstra komputer. Selanjutnya setiap anak ditugaskan membuat blog pribadi yang harus mereka aktifkan sendiri yang diikuti oleh guru pembimbing untuk evaluasi, selanjutnya setiap kelas dimotivasi untuk membuat blog komunitas untuk kelasnya masing-masing yang memuat berbagai macam topik yang semuanya diisi tulisan-tulisan yang merupakan hasil-hasil karya tulis siswa kelas tersebut. Untuk memotivasi progran tersebut sekolah dapat mengadakan lomba blog kelas, yang pemenangnya diberikan reward yang bermanfaat untuk siswa. Sebagai model, maka sekolah juga harus memiliki web atau blog yang aktif yang selalu update informasi yang bisa di akses oleh siswa, orang tua siswa, dan masyarakat umum.
Bolg pribadi, blog kelas, maupun blog sekolah  bisa dibuat  oleh siswa tau  guru yang memiliki potensi menulis dan mulai  terbiasa menulis, tapi sulit untuk menebus media surat kabar, jurnal atau media media yang lain, maka alternatif yang sangat mendukung kebiasaan menulis dapat di lakukan dengan membut blog ini.  Dengan blog baik blog yang dibuat secara berkelompok dengan komunitas, atau blog pribadi memberikan ruang seluas - luasnya bagi penulis untuk menuangkan ide-idenya semaksimal mungkin. Apapun bisa di tulis tanpa ada yang membatasi, kecualai aturam dalam UU ITE yang tetap harus di perhatikan. Pembaca blog pun sangat luas takbterbatas hingga ke manca megara. Siapapun dapat membaca karya yang di tulis dalam blog, jika tulisanenarik dan updating yang memuat informasi yang sedang

Selanjutnya Gerakan Literasi Sekolah ( GLS )  merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang literat, yang bertujuan untuk menjadikan literasi sebagai budaya di sekolah tersebut. Budaya literasi di masyarakat termasuk di sekolah dapat digunakan sebagai sarana membangun karakter siswa dan masyarakat. Karakter-karakter  yang dimunculkan dari gerakan literasi pada umumnya menunjukkan indikator - indikator  sebagai berikut :
1. Menyenangkan dan ramah.
Pengetahuan yang luas dapat memunculkan sikap terbuka terhadap apapun dan siapapun sehingga dapat memunculkan pribadi yang ramah dan menyenangkan. Kondisi tersebut juga akan  menumbuhkan semangat warga sekolah, terutama siswa dalam belajar.
2. Semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama.
Pengetahuan yang luas dan interaksi terhadap dunia luar melalui gerakan literasi dapat memunculkan sikap responsif dan rasa empati serta menghargai apapun yang terjadi di sekitar lingkungannya.

3. Menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan.
Pada umumnya orang berpengetahuan akan cenderung  berusaha untuk menambah pengetahuannya  lebih banyak dan  tidak akan merasa puas, sehingga dia akan selalu berusaha untuk update ilmu pengetahuan terus menerus. Orang berpengetahuan pada awalnya dimulai dari kebiasaan membaca. Keadaan ini akan menumbuhkan semangat selalu ingin tahu dan cinta pengetahuan. Siswa yang memiliki keingintahuan yang tinggi akan sangat menikmati dunia literasi, karena kegitan literasi akan mampu menjawab keingintahuannya.




4. Memupuk kemampuan berkomunikasi.
Budaya Literasi yang pasti  dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Dengan wawasan dan pengetahuan yang luas seseorang akan mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan soaialnya. Siswa dengan tingkat literasi yang tinggi dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan percaya diri, akan sangat berbeda dengan siswa yang tidak memiliki budaya literasi.
5. Mengakomodasi partisipasi seluruh warga sekolah dan lingkungan.
Budaya literasi akan memunculkan sikap keterbukaan, karena siklus informasi yang selalu dapat di tangkap beserta umpan balik yang mampu tersampaikan swcara lugas. Dengan demikian aspirasi dan  partisipasi warga sekolah akan dapat diakses dengan baik.

Gerakan literasi yang dimulai sejak dini di sekolah akan memperkuat uoaya pemerintah dalam terciptanya budaya literasi di masyarakat. Sekolah sebagai pusat pembinaan genarasi bangsa sangat berperan dalam mencetak karakter - karakter positif generasi muda, termasuk diantaranya karakter mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki keingin tahuan yang tinggi. Sekolah yang literat akan mampu menciptakan ini. Fasilitas yang memadahi dan guru- guru yang mumpuni akan mampu menghidupkan gerakan ini disekolahnya. Selanjutnya jika gerakan literasi  ini telah menjadi suatu kebiasaan warga sekolah, maka terciptalah budaya litarasi di sekolah yang dikemudian hari akan ikut bersumbangsi dalam menciptakan budaya literasi masyarakat seperti yang diprogrankan oleh pemerintah.
         Meskipun demikian, diakui bahwa menciptakan suatu kebiasaan yang selanjutnya tumbuh menjadi budaya tidaklah mudah. Butuh waktu yang cukup lama serta konsistensi bagi para pelakunya dalam menjalankan kegiatan tersebut, termasuk gerakan literasi ini. Dukungan dari semua pihak pun sangat diperlukan, mulai dari komunitas terkecil bangsa ini yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah selaku ujung tombak proses pendidikan dan pengajaran, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Sinergitas antara seluruh komponen Stake hoder  gerakan ini akan mampu mendorong terlaksananya gerakan yang telah di canangkan pemerintah ini, tidak hanya dalam tataran sosialisasi program yang pada ujungnya tidak memenuhi target yang di harapkan, namun benar - benar akan diwujudkan masyarakat Literat di bumi indonesia.
          Keseriusan pemerIntah pusat terhadap terlaksannya gerakan literasi ini harus signifikan, dengan hasil yang ditargetkan yaitu terciptanya budaya literat dalam masyarakat kita. Pemerintah yang telah menggodok program yang sangat krusial ini harus mampu memberikan panduan teknis yang jelas, disamping sosialialisasi yang komprehensif tentang konsep gerakan literasi, rambu-rambu teknis pelaksanaannya, sistem evaluasi tingkat ketercapaian program, serta sumber pendanaan yang jelas untuk melaksanakan gerakan literasi sekolah ini. Aksi nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menciptakan masyarakat literat adalah pendirian taman-taman bacaan dalam mendorong minat baca anak dan masyarakat, juga keseriusan pemerintah untuk mendistribusikan buku - buku pengayaan, dan sarana perndukung  yang lain  keseluruh pelosok negeri untuk memenuhi kebutuhan utama pengembangan budaya letasi ini. Jika dukungan tersebut tidak nyata diberikan, maka konsep briliant pemerintah tersebut  tidak akan berdampak apapun bagi upaya mengembangkan gerakan literasi  yang sangat penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini, dan masyarakat Indonesia masih tetap berada pada kondisinya semula dengan tingkat buta huruf yang masih sangat tinggi.

Penulis adalah Alumni Magister Pendidikan Matematika Unesa, dan ASN yang bertugas di madrasah swasta di Kabupaten Lamonga.