Minggu, 01 September 2013

PEMBELAJARAN BERORIENTASI KOMPETENSI SISWA


Permasalahan utama dalam pembahasan makalah ini adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam proses belajar mengajar di kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi kurikulum berbasis kompetensi yang terus dikembangkan  dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, diharapkan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi sedikit akan berubah  menjadi aktif.


Kompetensi (competency) siswa dalam bahasa Indonesia yang bermakna setara dengan kemampuan. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung art siswa memiliki kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Pola   belajar siswa tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami, melainkan sampai  siswa dimilki kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, serta pemecahan masalah), Adapun kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku).
           Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca  ebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, sedangkan  belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%. Uraian tersebut bermakna bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual). Dalam paradigma pembelajaran, guru hendaknya melakukan proses pembelajaraan dengan menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. 
          Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi. Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri yang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran. Hal inilah yang disebut dengan pembelajaran konstruksivisme, karena pembelajaran dalam proses kegiatan pembelajaran ini aktivitas siswa yang sifatnya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan.
               Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP). Maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukanmengkomunikasikan sehingga kecerdasan mosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa tanggung jawab dan disiplin diri.
              Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) yang memiliki indikatror mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.