PEMBELAJARAN
BERORIENTASI KOMPETENSI SISWA
Permasalahan utama
dalam pembahasan makalah ini adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru
dalam proses belajar mengajar di kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi
membelajarkan, sehingga misi kurikulum berbasis kompetensi yang terus
dikembangkan dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, diharapkan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi
sedikit akan berubah menjadi aktif.
Kompetensi (competency) siswa dalam bahasa Indonesia yang bermakna setara dengan
kemampuan. Siswa yang telah memiliki kompetensi
mengandung art siswa memiliki kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Pola belajar siswa tidak cukup
hanya sampai mengetahui dan memahami, melainkan sampai siswa dimilki kemampuan kognitif (pemahaman,
penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi,
eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi,
kreativitas, serta pemecahan masalah), Adapun kemampuan afektif (pengendalian diri
yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi,
motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi
dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku).
Vernon A Madnesen
(1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung
bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca ebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar
20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi
mencapai 70 %, sedangkan belajar dengan
melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%. Uraian tersebut bermakna
bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal,
tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on,
minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual). Dalam paradigma pembelajaran, guru hendaknya
melakukan proses pembelajaraan dengan menyajikan persoalan dan mendorong
(encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur,
menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan
persoalan yang disajikan.
Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara
guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi
(pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga
dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang
diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun
sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui
pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau
aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri yang mengemasnya.
Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya
berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan
dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa
merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia
sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas
pembelajaran. Hal inilah yang disebut dengan pembelajaran konstruksivisme,
karena pembelajaran dalam proses kegiatan pembelajaran ini aktivitas siswa yang
sifatnya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan.
Agar konstruksicvisme
dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme
secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal,
keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical,
simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP). Maka
prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar
dengan melakukanmengkomunikasikan sehingga kecerdasan mosionalnya dapat
berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal
ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi,
tanya-jawab, sehingga terpuku rasa tanggung
jawab dan disiplin diri.
Prinsip
belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) yang memiliki indikatror mechanistic
(latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik),
empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan
nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan
memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri,
melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.