Senin, 10 September 2012


PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

1.  Latar Belakang Pembelajaran Matematika Realistik
Sekitar tahun 1971, Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME), makna Indonesianya adalah pendidikan matematika realistik dan secara operasional disebut sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
PMR awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Pendekatan ini didasar-kan pada konsep Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human activities), ide utamanya adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan atau tanpa bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan "realistik" yakni yang berkaitan dengan realitas atau situasi yang dapat dibayangkan siswa.

Soedjadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu. Yang dimaksud dengan realitas dalam hal ini adalah hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dapat dipahami lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat anak atau peserta didik atau siswa berada, mungkin lingkungan sekolah, lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat yang dapat dipahami siswa.
Pembelajaran matematika realistik memanfatkan masalah kontekstual  sebagai titik awal pembelajaran. Dalam hal ini siswa melakukan aktifitas matematisasi horisontal, yakni mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang termuat dalam masalah tersebut. Siswa bebas mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya. Selanjutnya siswa dengan atau tanpa bantuan guru menggunakan matematisasi vertikal (melalui abstraksi maupun formalisasi) tiba pada tahap pembentukan konsep. Setelah dicapai pembentukan konsep, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika tersebut kembali pada masalah kontekstual sehingga memperkuat pemahaman konsep.
                                                real word


mathematizing in application                              mathematizing and reflection

                                abstraction and formalization
Gambar 2.1: conceptual mathematizing
(De Lange 1987:72)

2.  Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Dalam merancang pembelajaran yang berbasis PMR, ada tiga prinsip kunci (utama) yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) guided reinvention and progressive mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-developed models. Gravemeijer (1994:90). Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a.    Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and  progressive mathematizing)
Dalam belajar matematika, siswa perlu diberikan kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika dibawah bimbingan guru. Menurut prinsip ini, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Penemuan konsep ini diinspirasi oleh cara-cara pemecahan informal dari suatu masalah kontekstual. Cara informal siswa dapat diinterpretasi untuk mengantisipasi prosedur-prosedur yang lebih formal. Dengan memberikan masalah kontekstual yang relevan dengan materi matematika yang diberikan, siswa diharapkan dapat belajar melalui matematisasi progresif untuk mengembangkan dan menggu-nakan cara-cara yang lebih efektif dan umum. Dengan kata lain, melalui matematisasi horisontal dan vertikal (matematisasi progresif) siswa diharapkan dapat menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
b.  Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)
Pembelajaran di kelas perlu menggunakan situasi berupa fenomena yang mengandung konsep matematika. Masalah kontekstual yang diberikan kepada siswa adalah masalah yang berada di lingkungan siswa yang dapat dibayangkan  oleh siswa dan digunakan untuk dua tujuan yaitu aplikasi dan pertimbangan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Identifikasi fenomena didaktik dilakukan untuk mendapatkan masalah kontekstual sehingga dapat menggeneralisasi cara-cara informal atau memunculkan prosedur pemecahan yang dapat digunakan sebagai dasar matematisasi vertikal. Cara-cara informal yang diberikan oleh siswa tentunya sangat bervariasi dan tidak tertutup kemungkinan berbeda dengan cara yang dimiliki oleh guru. Semua cara-cara pemecahan informal siswa perlu diakomodasi oleh guru dan digunakan sebagai alat menuju pengetahuan matematika formal.
c.  Mengembangkan  sendiri model-model (self developed model)
     Dalam mempelajari konsep-konsep matematika melalui masalah kontekstual siswa perlu mengembangkan sendiri model-model atau cara-cara penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah memungkinkan muncul berbagai macam model. Peranan pengembangan sendiri model-model adalah sebagai jembatan bagi siswa dari situasi konkret ke situasi abstrak atau dari pengetahuan matematika informal ke pengetahuan matematika formal.

3.  Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
            Tiga prinsip kunci PMR dalam implementasinya melahirkan karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu: (1) the use of context , (2) the use of models, bridging by vertical instrument, (3) student contribution, (4) interactivity and (5) intertwining. (Treffers 1991:24, Gravemeijer 1994:114, De Lange 1987:75). Penjelasan dari kelima karakteristik tersebut, secara singkat sebagai berikut:
a.       Menggunakan masalah kontekstual (the use of context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya dan pengetahuan awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus sesuai dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree (dalam Hasratuddin, 2002: 17), masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika, dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas).
b.      Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema, diagram dan simbol-simbol (use models, bridging  by vertical instrument)
Istilah model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa kedalam model matematika. Sehinga dari proses matematisasi horisontal dapat menuju ke matematisasi vertikal.
c.       Menggunakan kontribusi siswa (student contribution)
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan  datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
d.      Pembelajaran yang interaktif (interactivity)
Mengoptimalkan pembelajaran melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam PMR. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui pembelajaran yang interaktif.
e.       Terintegrasi dengan topik lainnya (intertwining)
Matematika merupakan ilmu yang terstruktur, oleh karena itu keterkaitan dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendu-kung terjadinya pembelajaran yang lebih bermakna sehingga memunculkan pemahaman secara serentak.