Sabtu, 16 April 2011

TERORISME DAN REALITA PENDIDIKAN


" Jika anda hendak mencari orang-orang suci sejati ( the real mystics), anda tidak akan menemukannya di katedral-katedral; namun anda akan menemukannya di korporasi-korporasi besar yang sukses. Karena pemimpin - pemimpin perusahaan yang sukses biasanya adalah orang-orang yang memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki spiritual yang nondogmatis, selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain". (Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD).

            Peristiwa terorisme yang banyak terjadi belakangan ini, mulai dari peledakan bom di beberapa tempat sstrategis, peristiwa natal 2000, peristiwa Ambon, dan puncaknya pada peristiwa legian Bali, bom buku, maupun kriminal-kruminal kecil yang hampir tiap hari menjadi suguhan media massa, dapat di pandang sebagai salah satu bukti kegagalan proses pendidikan bangsa ini.
            Menilik lebih jauh tujuan Pendidikan nasional yang tercantum dalam UUSPN No. 2 th. 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan manusia indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa. Maka tujuan pendidikan Nasional yang sudah dirumuskan tersebut menyimpan makna yang luar biasa. Seandainya Tujuan pendidikan Nasional itu berhasil maka, masyarakat Indonesia tidak mungkin sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Bangsa Indonesia tidak mungkin menjadi bangsa dalam golongan termiskin di dunia sehingga sangat tergantung pada uluran tangan negara lain; negara Indonesia tidak mungkin menjadi negara yang paling banyak koruptornya; negara Indonesia tidak mungkin dicap menjadi negara yang memiliki tingkat kriminal yang tinggi, dan stigma yang belakangan diberikan oleh negara - negara didunia kepada kita  sebagai negara " teroris ". Belum lagi sumber devisa terbesar negara ini  adalah tenaga-tenaga kerja yang dikirim keluar negeri bukan sebagai tenaga profesional tetapi notabene adalah buruh-buruh di negara orang lain. Semua yang terjadi pada bangsa ini menunjukkan bahwa pendidikan di negara ini sama sekali belum berhasil dalam mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan  menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.
            Pada skala yang lebih sempit, kegagalan proses pendidikan kita dapat kita lihat dari banyaknya kasus kriminal yang melibatkan pelajar, tawuran antar pelajar, demonstrasi - demonstrasi yang dilakukan di sekolah baik oleh pelajar maupun oleh para tenaga pendidik yang tidak mencerminkan sebagai seorang terpelajar. Itu semua menunjukkan bahwa perlu adanya study lebih jauh tentang sistem pendidikan yang ada di negara ini.
            Berdasarkan pengalaman pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah selama ini, bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mencerdasankan kehidupan bangsa dan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, tidak lebih hanyalah berupa serangkaian proses mengembangkan kemampuan aritmatik, logis, dan kecerdasan rasional yang lain yang sering disebut dengan Intelligence Quotient ( IQ ). Kemampuan IQ yang diyakini menjadi legenda penentu keberhasilan seseorang di bidang akademik dan kehidupan ternyata  pada dua dasa warsa terakhir banyak menuai kritik. Diantaranya Daniel Goleman justru berani menyatakan bahwa keikutsertaan IQ dalam menentukan kesuksesan hidup manusia hanya 4%. Pengalaman dan berbagai studi menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup tidak hanya dipengaruhi oleh  IQ-nya, melainkan masih ada faktor lain yang berperan dalam kesuksesan manusia yaitu kecerdasan Emosional ( EQ ). Disamping itu ditambahkan oleh Zohar bahwa berdasarkan pada temuan-temuan neorologis, yang dipadu dengan fisika quantum, dan psikologi transpersonal bahwa kesuksesan manusia dalam hidupnya juga ditentukan oleh kecerdasan spiritual (SQ). Hilang salah satu unsur kecerdasan tersebut dalam diri manusia, maka ia akan menjadi manusia yang pincang dalam hidupnya.
            Mengedepankan pengembangan IQ dalam sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam kurikulum pendidikan yang selama ini digunakan, tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Mengapa demikian ? karena untuk menciptakan manusia seutuhnya yaitu manusia yang cerdas, beriman dan ber-taqwa, masih diperlukan beberapa unsur kecerdasan yang lain. Diantaranya adalah kecerdasan emosional. Sebuah kasus yang belakangan populer yaitu peledakan bom di Bali  ternyata semua pelakunya  adalah mantan siswa - siswa yang ber-IQ tinggi yang  ditunjukkan dari  nilai raport yang rata-rata tinggi dibidang matematika, fisika dan kimia. Namun, kecerdasan yang tinggi bagi mereka dan mungkin sebagian yang lain hanya dimanfaatkan untuk melakukan terorisme.
            Demikian juga, pendidikan yang hanya mengedepankan pengembangan kecerdasan spiritual  tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan emosional  yang mencakup - kesadaran diri untuk mengendalikan dorongan hati, ketekunan, semangat, empati dan kecakapan sosial - hanya akan menciptakan fundamentalis - fundamentalis yang kurang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai contoh adalah semua pelaku peledakan bom di Bali di tengarai adalah pemuda-pemuda yang alim dan memiliki keterikatan yang kuat terhadap agamanya. Padahal tidak satupun agama di dunia ini yang mengajarkan terorisme. Dan bahkan Islam adalah agama Rahmatan Lil 'Alamin.
            Belum lagi, bagi kalangan siswa yang tidak tersentuh sama sekali baik dari pengembangan kecerdasan rasionalnya (IQ), kecerdasan emosionalnya (EQ), maupun kecerdasan spiritualnya (SQ). Sebagian dari mereka adalah pemuda-pemuda yang prustasi yang selanjutnya menjadi terorisme-terorisme kecil yang juga cukup meresahkan masyarakat kita.
            Beberapa faktor  menurut penulis yang sampai saat ini menjadi permasalahan dalam pendidikan Nasional kita adalah :
1.      Kurikulum yang terlalu padat dan hanya mengedepankan kuantitas, sehingga guru hanya berpatokan pada pencapaian target kurikulum, bukan pada target penguasaan siswa. Sehingga siswa kurang mendapat perhatian perindividu, padahal potensi IQ pada tiap siswa berbeda. Dengan demikian hanya beberapa prosen siswa yang berhasil dalam pendidikan dan sebagian besar yang lain menjadi siswa yang gagal dan prustasi.
2.      Kurikulum  yang memberlakukan penyamarataan kecerdasan siswa berdasarkan pada IQ yang tinggi. Hal ini mengakibatkan siswa yang IQ-nya kurang atau di bawah standard yang ditentukan akan selalu mendapat predikat sebagai anak yang bodoh, tersisih, dan tidak serius dalam belajar. Sehingga mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikan dengan tingkat intelegensi yang sesuai. Padahal siswa yang memiliki tingkat IQ yang rendah mungkin adalah anak yang hebat dikemudian hari sebagai anggota masyarakat yang tidak sempat dikembangkan disekolahnya.
3.      Kurang diperhatikannya unsur kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan Spiritual (SQ). Sebenarnya bidang study PPKn dan Agama yang diberikan disekolah selama ini, diadakan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. Akan tetapi porsinya dalam kurikulum yang terlalu kecil belum menampakkan hasilnya pada output-outpuit lembaga pendidikan. Dengan indikasi banyaknya kasus kriminal yang melibatkan pelajar atau pemuda-pemuda yang sebenarnya terdidik di suatu lembaga pendidikan.
4.      Tenaga pendidik sebagian besar belum menyadari bahwa tugas yang mereka emban sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tidak sekedar sebagai profesi melainkan jauh lebih mulia sebagai penentu nasib individu bangsa di negara ini.             
5.      Anggaran pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah  tidak memenuhi sasaran. Anggaraan pendidikan yang cukup besr belakangan ini oleh pemerintah banyak yang tidak mengeni sasaran. Budaya korup yang sudah mendarah daging dalam birokrasi bangsa ini tidak pandang bulu. Dana  pendidikan yang mestinyaa merupakan kebutuhan primer untuk membangun genrsi  bangsa, tidak lepas dari sunatan pihak-pihak yang hanya ingin memperkya diri dan golongnnya. Politisasi dunia pendidikan akan semakin merusak generasi dan masa depan bangsa. Karena dengan pendidikan suatu bangsa akan dapat menunjukkan derajatnya dan posisinya diantara bangsa - bangsa yang lain. Kalau selama ini negara kita baru dikenal sebagai peng-ekspor buruh terbesar di dunia, maka baru sebatas mencetak buruh itulah  kualitas pendidikan di negara kita. Maka seharusnya prioritas pembangunan oleh pemerintah kita adalah meningkatkan kualitas pendidikan dengan alokasi anggaran yang seharusnya paling besar dalam RAPBN kita dan ditangani secara professional demi masa depan anak bangsa.
            Kelima hal tersebut di atas menurut penulis adalah permasalahan penting dalam dunia pendidikan nasional yang harus segera di cari penyelesaiannya. Pemberian porsi yang seimbang untuk pengembangan masing - masing unsur kecerdasan mutlak diperlukan demikian juga dengan akuntabilitas pengguanan plafon anggaran untuk pendidikan dalam RAPBN harus betul-betul diperhaatikan.
            Kurikulum KTSP dirancang sebenarnya dihrapkaan menjawb sebagian permasalahan-permaslahan di atas,  tetapi pada tataran sekolah sebagaian besar masih belum memahami sepenuhnya tentang ruh KTSP itu sendiri. Sebagian besar sekolah atau madrasah masih belum mmpu merumuskan kurikulum mereka sendiri dan masih mengdopsi ataau bahkan copy paste dari sekolah lain. Belum lagi jika dicermati pemerintah sebagai pengambil kebijakan tentang kurikulum nasional masih setengah hati memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengembangkan potensi sekolah dengan hanya memberikan muatan 2 jam pelajaran pada materi muatan lokal.
            Pendidikan di negara kita adalah pendidikan yang dikembangkan untuk semua individu bangsa ini. Semua dibekali ketrampilan untuk hidupnya di masyarakat. Semua masyarakat saling menghargai satu sama yang lain, karena di sekolah mereka diajarkan dan diberikan contoh menghargai satu sama yang lain. Teman menghargai teman yang lain, guru menghargai siswa, guru menghargai guru yang lain, atasan menghargai anak buah, anak buah menghargai atasan dan seterusnya.
            Sehingga akan tercipta di negara ini masyarakat "madani" yaitu masyarakat yang aman, tentram, dan berperadaban tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar